Kondisi yang disebut FOMO (fear of missing out) semakin mengemuka di zaman serba digital, terutama seiring dengan menguatnya penggunaan media sosial sekarang ini.
Nah, apa sesungguhhnya yang dimaksud FOMO? Apa penyebabnya dan apa saja tanda-tandanya? Sejauh mana kaitan FOMO dengan penggunaan media sosial?
Kira-kira apa yang perlu dilakukan para orangtua jika kondisi FOMO menimpa anak-anak mereka? Bagaimana agar FOMO tidak sampai harus dialami anak-anak?
Menurut Kate Brush (2022), FOMO merupakan respons emosional terhadap keyakinan bahwa orang lain hidup lebih baik, atau memiliki kehidupan yang lebih memuaskan, maupun adanya hal-hal yang dinilai penting yang terlewatkan.
FOMO sering menyebabkan perasaan tidak nyaman, tidak puas, depresi dan stres. Keberadaan media sosial dituding telah meningkatkan prevalensi FOMO selama beberapa tahun terakhir ini.
Secara teoritis, kondisi FOMO dihasilkan oleh amigdala, yaitu bagian otak yang mendeteksi apakah ada sesuatu yang mengancam kelangsungan hidup atau tidak. Bagian otak ini merasakan bahwa kesan tertinggal dari orang lain sebagai ancaman, yang kemudian menciptakan stres dan kecemasan
Keberadaan ponsel pintar dan media sosial disebut-sebut telah ikut meningkatkan terjadinya kondisi FOMO karena menciptakan situasi di mana para penggunanya dapat terus-menerus memantau dan membanding-bandingkan hidup mereka dengan orang lain.
Apa-apa yang diposting dan muncul di media sosial lantas menjadi rujukan utama. Ketika muncul ketidakmampuan dalam hal mewujudkan apa yang menjadi rujukan, maka kecemasan atau ketidakpuasan segera menghinggapi.
Karenanya, media sosial kerap dianggap sebagai sebab dan akibat dari FOMO sekarang ini. Dalam kaitannya dengan media sosial inilah, terdapat beberapa tanda ketika seseorang telah mengalami kondisi FOMO.
Pertama, terus-menerus memeriksa media sosial (bahkan saat berlibur, keluar bersama teman, atau menghadiri acara yang menyenangkan sekalipun).
Kedua, selalu mengaktifkan notifikasi media sosial demi mendapatkan update terkini dan untuk melihat tanggapan orang-orang terhadap kiriman postingan yang diunggah.
Ketiga, merasa perlu terus menerus online untuk merespons setiap komentar atau posntingan yang diunggah di media sosial.
Keempat, secara obsesif terus-menerus memposting aktivitas harian melalui media sosial.
Kelima, cenderung merasa sedih, kesepian, atau tertekan setelah eksis di media sosial untuk jangka waktu yang lama.
Keenam, merasa tidak puas dengan kehidupan diri sendiri dengan selalu membandingkannya dengan kehidupan orang lain.
Ketujuh, membuat pilihan atau keputusan hanya berdasarkan apa yang dilihat secara online lewat media sosial.
Sebagai bagian dari masyarakat digital sekarang ini, anak-anak dapat pula dijangkiti oleh kondisi FOMO.
Orang tua memiliki peran krusial dalam ikut mengatasi dan juga menangkal kondisi FOMO yang kemungkinan dihadapi anak-anak mereka.
Para orang tua perlu menanamkan keyakinan kepada anak-anaknya bahwa apa yang dilihat secara online, terutama di jejaring media sosial, hanyalah bagian kecil dari kehidupan dan tak selalu menunjukkan realita yang sesungguhnya.
Berilah pengertian dan pemahaman kepada anak bahwa masih banyak hal-hal menarik dan bermanfaat yang dapat dilakukan secara offline daripada terus-menerus online mengakses media sosial.
Tantanglah anak agar berani hidup tanpa terus-menerus terkoneksi dengan dunia virtual dan yakinkan mereka bahwa kehidupan mereka akan baik-baik saja walau tak selalu terkoneksi dengan media sosial dan tak eksis di dalamnya.
Jelaskan pula kepada mereka bahwa setiap orang memiliki cara hidup dan kehidupannya masing-masing berikut kelebihan maupun kekurangannya, sehingga tidak perlu menjadikan orang lain sebagai patokan bagi kehidupan pribadi. Apalagi yang ingin dijadikan patokan sang anak hanya figur-figur yang dilihat lewat tampilan media sosial di dunia maya.