Siapa yang tidak kenal dengan kota Malang, salah satu kota terbesar kedua di Jawa Timur yang memiliki pesona akan keindahan alamnya. Selain kota Batu, banyak juga berbagai wisata pantai dan pegunungan yang memukau. Tapi kali ini kita tidak akan membahas wisatanya melainkan salah satu budaya di kota Malang yang bisa dibilang lucu yaitu boso walikan (bahasa terbalik).
Sepertinya sudah menjadi identitas orang Malang menggunakan boso walikan untuk berbicara sehari-hari. Sebenarnya boso walikan sama saja dengan Bahasa Jawa pada umumnya akan tetapi cara pengucapannya saja yang dibalik.
SEJARAH BOSO WALIKAN
Awal mula tercetusnya boso walikan (bahasa walikan) adalah dari perjuangan perlawanan arek arek malang melawan penjajah yang di pimpin oleh Hamid Rusdi. Tujuan terciptanya adalah untuk mengelabuhi penjajah karena ada mata mata penjajah dari pribumi. Karena Hamid Rusdi termasuk orang yang berpengaruh besar dalam perlawanan tersebut, beliau di culik oleh penjajah yang kemudia di bunuh.
Ternyata boso walikan sudah berkembang sejak jaman penjajahan Belanda yaitu sekitar tahun 1949. Awalnya saat perang gerilya para pejuang khawatir jika pihak Belanda bisa mendengar percakapan mereka, akhirnya mereka melakukan musyawarah untuk membahas bagaimana agar bisa bebas berbicara tanpa khawatir pembicaraan mereka bocor ketelinga Belanda. Setelah memikirkan berbagai ide, muncullah satu ide brilian yang disetujui semua pihak yaitu dengan membalik susunan kata saat berbicara dengan sesama pejuang. Dari situlah tercetus boso walikan, caranya yaitu dengan melafalkan kata bukan dari kiri ke kanan seperti pada umumnya tetapi dari kanan ke kiri, contohnya makan maka akan dibaca nakam, bakso dibaca oskab, arek dibaca kera, dan enak dibaca kane.
Meskipun terkesan mudah dilakukan, penggunaan boso walikan ada aturannya. Tidak semua kata bisa dibalik, ada pengecualian cara membalik untuk beberapa kata seperti kata dengan pelafalan “ng” maka akan tetap dibaca “ng”, contohnya bengi menjadi ingeb yang berarti malam dalam bahasa Jawa, ngalam yang berarti Malang, terkecuali untuk kata “orang” entah mengapa dibaca menjadi gnaro atau genaro, mlaku(jalan kaki) menjadi uklam, sepeda menjadi adapes, polisi menjadi isilup atau silup, weci (bakwan) menjadi ciwe.
Budaya boso walikan di Malang semakin berkembang seiring waktu. Kata-kata saat jaman penjajahan Belanda terus bertambah hingga saat ini. Mungkin buat kalian yang tinggal atau dekat Malang pasti sudah tidak asing mendengar kata-kata seperti libom, halokes, utapes, hamur yang merupakan kata kebalikan dari mobil, sekolah, sepatu dan rumah.